Jakarta (15/8) Pemerintah didesak untuk mengoptimalkan penerimaan migas negara ketimbang membuat wacana untuk mengalihkan beban subsidi BBM kepada daerah. Hal itu disampaikan oleh anggota Badan Anggaran DPR RI, Ecky Awal Mucharam di Jakarta, Senin (15/8) . Sebelumnya pemerintah pernah mewacanakan untuk mengalihkan beban subsidi BBM kepada daerah.
Menurut politisi PKS itu ada dua cara untuk mengoptimalkan penerimaan migas negara, yaitu mengoptimalkan lifting minyak dan mengoptimalkan penerimaan pajak dari migas. "Saat ini lifting minyak terancam tidak memenuhi target. Target di awal tahun sebesar 970 ribu bph, lalu dturunkan menjadi 945 ribu bph, lalu terakhir BP Migas menghitung sampai akhir tahun hanya akan tercapai 920 ribu bph. Ini berarti ada potensi penerimaan negara yang hilang", kata Ecky.
Target lifting minyak yang tidak terpenuhi akan membuat penerimaan migas negara turun, begitu juga dengan kebocoran pajak di sektor migas. Ketimbang mewacanakan pembagian beban sebaiknya pemerintah fokus dulu di penerimaan migas.
Menurut BP Migas, dari 40 KKKS 29 diantaranya berproduksi dibawah target. Malah dari 10 Kontraktor Kontrak Kerja Sama terbesar hanya 1 yang memenuhi target, yaitu Chevron Pacific. Padahal penyebab tidak terpenuhinya target produksi itu adalah sesuatu yang bisa dihindari seperti masalah perselisihan, izin dari instansi pemerintah, gangguan keamanan dan faktor alam. "Dari sekian hal yang menghambat lifting minyak kita, sebagian besar adalah hal yang bisa diselesaikan oleh pemerintah. Malah ada masalah yang bersumber dari pemerintah itu sendiri. Ini soal keseriusan pemerintah. Jangan sampai ada kesengajaan mengecilkan lifting agar bisa impor lebih banyak. Karena kalau impor kan ada yang dapat komisi", sindir Ecky.
Selain soal lifting minyak, penerimaan perpajakan sektor migas juga menjadi fokus politisi PKS tersebut. BPK menyebutkan bahwa perusahaan migas menunggak pajak sebesar Rp 3,85 triliun. Menurut BPK adanya tunggakan ini akibat sistem pengawasan dan penagihan PPh migas tidak optimal. "Selama pemerintah tidak membenahi produksi minyak dan perpajakannya, segala upaya untuk mengalihkan beban subsisid BBM baik kepada masyarakat (dengan cara menaikkan harga BBM) maupun kepada daerah akan kehilangan legitimasinya", tutup Ecky.
Menurut politisi PKS itu ada dua cara untuk mengoptimalkan penerimaan migas negara, yaitu mengoptimalkan lifting minyak dan mengoptimalkan penerimaan pajak dari migas. "Saat ini lifting minyak terancam tidak memenuhi target. Target di awal tahun sebesar 970 ribu bph, lalu dturunkan menjadi 945 ribu bph, lalu terakhir BP Migas menghitung sampai akhir tahun hanya akan tercapai 920 ribu bph. Ini berarti ada potensi penerimaan negara yang hilang", kata Ecky.
Target lifting minyak yang tidak terpenuhi akan membuat penerimaan migas negara turun, begitu juga dengan kebocoran pajak di sektor migas. Ketimbang mewacanakan pembagian beban sebaiknya pemerintah fokus dulu di penerimaan migas.
Menurut BP Migas, dari 40 KKKS 29 diantaranya berproduksi dibawah target. Malah dari 10 Kontraktor Kontrak Kerja Sama terbesar hanya 1 yang memenuhi target, yaitu Chevron Pacific. Padahal penyebab tidak terpenuhinya target produksi itu adalah sesuatu yang bisa dihindari seperti masalah perselisihan, izin dari instansi pemerintah, gangguan keamanan dan faktor alam. "Dari sekian hal yang menghambat lifting minyak kita, sebagian besar adalah hal yang bisa diselesaikan oleh pemerintah. Malah ada masalah yang bersumber dari pemerintah itu sendiri. Ini soal keseriusan pemerintah. Jangan sampai ada kesengajaan mengecilkan lifting agar bisa impor lebih banyak. Karena kalau impor kan ada yang dapat komisi", sindir Ecky.
Selain soal lifting minyak, penerimaan perpajakan sektor migas juga menjadi fokus politisi PKS tersebut. BPK menyebutkan bahwa perusahaan migas menunggak pajak sebesar Rp 3,85 triliun. Menurut BPK adanya tunggakan ini akibat sistem pengawasan dan penagihan PPh migas tidak optimal. "Selama pemerintah tidak membenahi produksi minyak dan perpajakannya, segala upaya untuk mengalihkan beban subsisid BBM baik kepada masyarakat (dengan cara menaikkan harga BBM) maupun kepada daerah akan kehilangan legitimasinya", tutup Ecky.